Sabtu, 22 Desember 2012

MAKALAH SEJARAH PERKEMBANGAN TAREKAT DI INDONESIA


MAKALAH SEJARAH PERKEMBANGAN TAREKAT  DI INDONESIA
Oleh :
Ismail

BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang Masalah
            Zaman sekarang disebut zaman modern, ditandai dengan kemakmuran material, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, serba mekanik dan otomatis. Materi telah mampu memberikan kesenangan dan kenyamanan lahiriyah.. Namun, semua itu, pada taraf tertentu, telah menimbulkan kebosanan. Bahkan banyak membawa bencana. Salah satunya adalah manusia modern telah dilanda kehampaan spiritual.
            Di tengah suasana seperti itu, manusia merasakan kerinduan akan nilai-nilai ketuhanan, nilai-nilai ilahiyah, nilai-nilai yang dapat menuntun manusia kembali kepada fitrahnya. Karena itu manusia mulai tertarik untuk mempelajari tasawwuf dan berusaha untuk mengamalkannya. Hal ini terlihat dengan tumbuhnya majlis-majlis pengajian tasawwuf dengan segala amalan-amalan dan dzikir-dzikirnya.[1] Majlis- majlis tasawwuf inilah yang kemudian populer dengan istilah tarekat.

      B.   Rumusan Masalah
1. Apa pengertian tarekat?
4. Bagaimanakah perkembangan tarekat dan di Indonesia?
5. Apa pengaruh tarekat dan terhadap pemikiran islam di Dunia?
6. Tugas perkuliahan

       C. Tujuan
1. Mengetahui definisi tarekat.
4. Mengetahui sejarah perkembangan tarekat dan tasawuf di Indonesia.
5.Mengetahui pengaruh tarekat dan tasawuf terhadap pemikiran islam di Indonesia.












BAB II
PEMBAHASAN
A.       Pengertian Tarekat
 Secara ethimologi berasal dari kata “Thoriqoh” yang berarti jalan. Dalam artian jalan yang mengacu kepada suatu system latihan meditasi maupun amalan-amalan yang dihubungkan dengan guru sufi. Istilah ini kemudian berkembang menjadi organisasi yang tumbuh seputar metode sufi yang khas,[2] atau institusi yang menaungi paham tasawwuf.[3]
Dari pengertian diatas, tampaklah pertalian yang sedemikian erat antara tasawwuf dan tarekat, bahwa antara keduanya tampak sulit dibedakan dan tak bisa dipisahkan antara yang satu dengan yang lain.[4] Tasawwuf adalah sebuah ideology dari institusi yang menaunginya, yaitu tarekat. Atau dengan kata lain, tarekat merupakan madzhab-madzhab dalam tasawwuf. Dan tarekat merupakan implementasi dari suatu ajaran tasawwuf yang kemudian berkembang menjadi sebuah organisasi sufi dalam rangka mengimplementasikan suatu ajaran tasawwuf  secara bersama-sama.


B.     Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Tarekat di Indonesia
Sebenarnya membicarakan tarekat, tentu tidak bisa terlepas dengan tasawuf karena pada dasarnya Tarekat itu sendiri bagian dari tasawuf. Di dunia Islam tasawuf telah menjadi kegiatan kajian keislaman dan telah menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri. Landasan tasawuf yang terdiri dari ajaran nilai, moral dan etika, kebajikan, kearifan, keikhlasan serta olah jiwa dalam suatu kehkusyuan telah terpancang kokoh. Sebelum ilmu tasawuf ini membuka pengaruh mistis keyakinan dan kepercayaan sekaligus lepas dari saling keterpengaruhan dengan berbagai kepercayaan atau mistis lainya. Sehingga kajian tasawuf dan tarekat tidak bisa dipisahkan dengan kajian terhadap pelaksananya di lapangan.
Dalam hal ini praktek ubudiyah dan muamalah dalam tarekat walaupun sebenarnya kegiatan tarekat sebagai sebuah institusi lahir belasan abad sesudah adanya contoh kongkrit pendekatan kepada Allah yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. kemudian diteruskan oleh Sahabat-sahabatnya, tabiin, lalu tabi’it taabiin dan seterusnya sampai kepada Auliyaullah, dan sampai sekarang ini. Garis yang menyambung sejak nabi hingga sampai Syaikh tarekat yang hidup saat ini yang lazimnya dikenal dengan Silsilah tarekat.
Tumbuhnya tarekat dalam Islam sesungguhnya bersamaan dengan kelahiran agama islam, yaitu ketika nabi Muhammad SAW diutus menjadi Rasul. Fakta sejarah menunjukkan bahwa pribadi nabi Muhammad SAW sebelum diangkat menjadi Rasul telah berulang kali bertakhannus atau berkhalwat di gua Hira. Disamping itu untuk mengasingkan diri dari masyarakat Mekkah yang sedang mabuk mengikuti hawa nafsu keduniaan. Takhannus dan khlalwat Nabi adalah untuk mencari ketenangan jiwa dan kebersihan hati dalam menempuh problematika dunia yang kompleks. Proses khalwat yang dilakukan nabi tersebut dikenal dengan tarekat. Kemudian diajarkan kepada sayyidina Ali RA. dan dari situlah kemudian Ali mengajarkan kepada keluarga dan sahabat-sahabatnya sampai akhirnya sampai kepada Syaikh Abd Qadir Djailani, yang dikelal sebagai pendiri Tarekat Qadiriyah.
Menurut Al-Jurjani ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali mengatakan bahwa : Tarekat ialah metode khusus yang dipakai oleh salik (para penempuh jalan) menuju Allah Ta’ala melalui tahapan-tahapan/ maqamat. Dengan demikian tarekat memiliki dua pengertian, Pertama ia berarti metode pemberian bimbingan spiritual kepada individu dalam mengarahkan kehidupannya menuju kedekatan diri dengan Tuhan. Kedua, tarekat sebagai persaudaraan kaum sufi (sufi brother hood) yang ditandai dengan adannya lembaga formal seperti zawiyah, ribath, atau khanaqah. Bila ditinjau dari sisi lain tarekat itu mempunyai tiga sistem, yaitu: system kerahasiaan, sistem kekerabatan (persaudaraan) dan sistem hirarki seperti khalifah tawajjuh atau khalifah suluk, syekh atau mursyid, wali atau qutub.
  1. Periodisasi sejarah perkembangan tarekat di Indonesia
Kekurangan informasi yang bersumber dari fakta peninggalan agama Islam. Para kiai dan ulama kurang dan bahkan dapat dikatakan tidak memiliki pengertian perlunya penulisan sejarah. Tidaklah mengherankan bila hal ini menjadi salah satu sebab sulitnya menemukan fakta tentang masa lampau Islam di Indonesia. Islam di Indonesia tidak sepenuhnya seperti yang digariskan Al-Qur’an dan Sunnah saja, pendapat ini didasarkan pada kenyataan bahwa kitab-kitab Fiqih itu dijadikan referensi dalam memahami ajaran Islam di perbagai pesantren, bahkan dijadikan rujukan oleh para hakim dalam memutuskan perkara di pengadilan pengadilan agama. Islam di Asia Tenggara mengalami tiga tahap : Pertama, Islam disebarkan oleh para pedagang yang berasal dari Arab, India, dan Persia disekitar pelabuhan (Terbatas). Kedua : datang dan berkuasanya Belanda di Indonesia, Inggris di semenanjung Malaya, dan Spanyol di Fhilipina, sampai abad XIX M; Ketiga : Tahap liberalisasi kebijakan pemerintah Kolonial, terutama Belanda di Indonesia. Indonesia yang terletak di antara dua benua dan dua samudra, yang memungkinkan terjadinya perubahan sejarah yang sangat cepat. Keterbukaan menjadikan pengaruh luar tidak dapat dihindari. Pengaruh yang diserap dan kemudian disesuaikan dengan budaya yang dimilikinyam, maka  lahirlah dalam bentuk baru yang khas Indonesia. Misalnya :  Lahirnya tarekat Qadiriyah Wa Naqsabandiyah, dua tarekat yang disatukan oleh Syaikh Ahmad Khatib As-Sambasy dari berbagai pengaruh budaya yang mencoba memasuki relung hati bangsa Indonesia, kiranya Islam sebagai agama wahyu berhasil memberikan bentukan jati diri yang mendasar. Islam berhasil tetap eksis di tengah keberadaan dan dapat dijadikan symbol kesatuan. Berbagai agama lainnya hanya mendapatkan tempat disebagian kecil rakyat Indonesia. Keberadaan Islam di hati rakyat Indonesia dihantarkan dengan penuh kelembutan oleh para sufi melalui kelembagaan tarekatnya, yang diterima oleh rakyat sebagai ajaran baru yang sejalan dengan tuntutan nuraninya.

C.    Pengaruh Tasawwuf dan Tarekat Terhadap  Pemikiran Islam di Indonesia
Seperti telah di sebutkan di atas, bahwa ajaran tasawwuf berkembang pesat karena orang-orang pribumi sangat antusias terhadap ajaran ini. Hal ini dipengaruhi oleh kekentalan kehidupan pribumi terhadap mistik sebelum Islam datang. Sehingga tidak lama setelah Islam bersama ajaran Tasawwufnya masuk ke Nusantara, banyak ulama’ nusantara yang menggeluti ajaran ini, diantaranya adalah Syaikh Yusuf Makassar, Hamzah Fansuri, Syamsuddin Al Sumatrani, Nuruddin Al Raniri, Abdul Ra’uf Singkel dan lain-lain.[5] Ketika itu, corak pemikiran Islam diwarnai  oleh tasawwuf. Pemikiran para sufi besar Ibn Al ‘Araby dan Abu Hamid Al Ghazali sangat berpengaruh terhadap pengamalan-pengamalan muslimin generasi pertama.[6]
Bahkan, kehadiran tarekat di tengah-tengah masyarakat Indonesia pada masa penjajahan itu telah memberikan angin segar bagi rakyat jajahan yang ingin melepaskan diri dari penjajahan. Timbulnya beberapa pemberontakan di Banten pada tahun 1888, Kediri pada tahun 1888, dan Sidoarjo pada tahun 1904. Dengan hal ini, terlihat bahwa pada waktu itu tarekat berfungsi tidak  hanya sebagai gerakan keagamaan, tetapi juga gerakan politik dalam menghadapi penjajahan.[7]
      Saat ini, tarekat masih mendapat tempat tempat d hati kaum muslimin Indonesia. Bahkan terus berkembang di kota-kota besar di Indonesia. Juga tidak hanya terbatas kalangan ekonomi menengah ke bawah, tetapi telah merambah pada kalangan ekonomi ke atas, bahkan para bangsawan. Hal ini dapat dilihat dari antusiasme warga setiap acara rutinan jam’iyyah tarekat tertentu.











BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Berbicara tentang agama, tidak dapat lepas dari hubungan dengan Tuhan, yang dalam Islam dikenal dengan ajaran tasawwuf yang kemudian dalam perkembangannya telah menjadi ideologi institusi-institusi yang menaunginya yang disebut tarekat. Dalam perkembangan selanjutnya, tarekat ternyata juga ikut andil dalam proses kemerdekaan bangsa Indonesia. Disadari atau tidak, diakui atau tidak, berbagai macam fakta dalam bingkai sejarah “  Tarekat di Indonesia” telah membuktikannya kemudian sumbansi yang membawa perubahan baru dalam pemikirin Islam di Dunia.













[1] Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006) hal. 3-5

[2] Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006) hal. 8
[3] Noer  Iskandar Al Barsyany, Tasawwuf, Tarekat dan Para Sufi, (Jakarta: Grafindo, 2001) hal. 73
[4] Ibid. hal. 70
[6] Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006) hal. 8
[7] Ajid Thohir, Gerakan Politik Kaum Tarekat, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002)hal 32-34

KONSEP PENDIDIKAN ISLAM MENURUT ABUDDINNATA


MAKALAH


KONSEP PENDIDIKAN ISLAM MENURUT ABUDDINNATA



Oleh :
Ismail





MAHASISWA STAIN KENDARI
2012


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam kanca faktual kondisi pendidikan islam di Indonesia selalu mendapat rensponsif dari para pemikir-pemikir Studi islam dan pendidikan islam, dalam kaitanya menghadapi tatangan zaman. Pembaharuan melalui studi pada pendidikan Islam terus dilakukan hingga melahirkan konsep-konsep baru pada dunia pendidikan Islam. Itu dibuktikan dengan lahirnya karya-karya tulis ilmiah yang membahas kajian-kajian pendidikan islam. Dalam catatan sejarah jika kita teropong lebih dalam bagaimana dinamika pendidikan Islam dalam kiprahnya mengawal bangsa ini, tentu menarik jika kita kaji pembaharuan-pembaharuan yang dilakukan oleh para pemikir Islam seperti Ibn Maskawih, al-Qabisi, al-Mawardi, Ibn Sina, al-Ghazali, Burhanuddin az-Zarnuji, Ibn Jama’ah, Ibn Taimiyah, Abdullah Ahmad, K.H. Ahmad Sanusi, Ikhwanul Muslimin, Abuddi Nata dan pemikir-pemikir lainnya.
Dalam tulisan singkat ini penulis akan membahas bagaimana konsep pendidikan yang dibangun oleh Abuddi Nata selaku pemikir studi Islam dan Pendidikan Islam yang sampai sekarang karya-karyanya masih dijadikan kiblat baik oleh para peneliti maupun institusi-institusi yang ada di Tanah air


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Konsep pendidikan menurut Abuddin nata
Pada dasarnya pemikiran Abuddin Nata banyak dipengaruhi oleh beberapa pemikir-pemikir besar Islam sebelumnya. Seperti diketahui bahwa Abuddin Nata banyak meneliti tentang pendapat para pemikir pendidikan Islam, khususnya dalam buku yang berjudul Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Pesrfektif Islam tentang Pola Hubungan Guru-Muirid; Studi Pemikiran Tasawuf al-Ghazali yang kemudian dengan sendirinya memberikan kesimpulan tersendiri dari beberapa pemikir yang banyak menjadi referensinya itu. Sengaja atau tidak beberapa konsep pemikiran atau pendapat-pendapat para ahli pendidikan Islam terlihat justru telah masuk dalam pola dan konsep pikir Abuddin Nata. Hal ini dipahami dapat saja terjadi, namun demikian sesekali nampak jelas pikiran-pikiran Abuddin Nata dengan logika-logika baru, pemahaman baru dan konsep-konsep baru. Beberapa pikiran tokoh tentang pendidikan Islam yang banyak dikaji oleh Abuddin diantaranya, Ibn Maskawih, al-Qabisi, al-Mawardi, Ibn Sina, al-Ghazali, Burhanuddin az-Zarnuji, Ibn Jama’ah, Ibn Taimiyah, Abdullah Ahmad, K.H. Ahmad Sanusi, Ikhwanul Muslimin, dan pemikir-pemikir lainnya. Dengan demikian pikiran-pikiran Abuddin bisa saja dimotori oleh para pemikir tersebut dengan membentuk formula baru meskipun pada hakikatnya beberapa pendapat itu adalah sama. Formula-formula yang dimaksud tentu akan memberikan kekhasan tersendiri dari pemikir-pemikir lainnya.
B. Pemikiran Abuddin Nata tentang Metode Pendidikan Islam
 Pemikiran Abuddin Nata tentang Metode Pendidikan Metodologi mengajar adalah ilmu yang mempelajari cara-cara untuk melakukan aktivitas yang tersistem dari sebuah lingkungan yang terdiri dari pendidik dan peserta didik untuk saling berinteraksi dalam melakukan suatu kegiatan sehingga proses belajar berjalan dengan baik dalam arti tujuan pengajaran tercapai. Istilah “metode” berasal dari dua kata yaitu meta dan hodos. Meta artinya “melalui”, sedangkan hodos berarti “jalan atau cara”. Dalam buku Pengantar Didaktik Metodik Kurikulum PBM, metode berasal dari kata metodos (bahasa Yunani) yang berarti mengajar, menyelidiki, cara melakukan sesuatu, prosedur. Dalam bahasa Arab, kata metode diungkapkan dalam berbagai kata. Terkadang digunakan kata al-thariqah, manhaj, atau al-wasilah. Al-thariqah berarti jalan, manhaj berarti sistem, sedangkan al-washilah berarti perantara atau mediator. Jadi kata Arab yang lebih dekat dengan metode adalah thariqah yang berarti langkah-langkah strategis yang dipersiapkan untuk melakukan suatu pekerjaan. Jadi metode bisa dipahami sebagai jalan yang harus ditempuh atau dilalui untuk mencapai tujuan tertentu. Jika dikaitkan dengan pendidikan, maka metode adalah jalan atau cara yang ditempuh untuk mencapai tujuan pendidikan. Metode adalah, “rencana menyeluruh yang berhubungan dengan penyajian pelajaran secara teratur dan tidak saling bertentangan”. Dalam setiap kegiatan pembelajaran sangat penting artinya metode bagi guru dalam menyampaikan materi pelajaran. Secara defenitif Abuddin Nata dalam beberapa bukunya tidak mengemukakan pengertian metode, namun makna metode dikemukakannya dalam kerangka penerapan yang praktis. Hal ini dapat diduga bahwa Abuddin Nata lebih memprioritaskan kajian-kajian sosio filosofis dan praktis daripada memberikan pengertian-pengertian yang terkait dalam istilah pendidikan. Menurut Abudin Nata, paling tidak ada tiga metode pembelajaran yang dapat digunakan oleh guru dalam proses pembelajaran. Pertama metode yang berpusat pada guru (teacher centris). Kedua metode pembelajaran yang berpusat pada siswa, (student centris); dan ketiga, metode pembelajaran yang mencoba menggabungkan antara yang berpusat pada guru (teacher centris ) dan siswa (student centris).
       a. Teacher centris
Metode pembelajaran yang berpusat pada guru menurut Abudin adalah sebuah metode yang menjadikan guru sebagai pemberi informasi, pembina, pengarah, dan satu-satunya dalam proses belajar mengajar. Metode ini di dasarkan dari pemikiran tentang pentingnya pembelajaran yang bersifat memacu rasionalitas akademis yang lebih menekankan pada aspek pengetahuan semata, tanpa melihat bahwa pengajaran juga harus mengandung maksud pembinaan dan pengembangan dari beberbagai potensi atau kemampuan yang dimiliki siswa. Artinya terlihat bahwa guru lebih banyak berperan aktif dan lebih banyak mendominasi dalam mengatur, menentukan dan mengelola pendidikan --sesuai dengan pemahaman, pandangan, pendapat-pendapatnya saja--untuk menciptakan kemampuan berfikir secara rasional dengan menggunakan logika. Penekanan rasional akademis dalam kondisi yang demikian menurut Nata justru yang terjadi hanyalah pengajaran bukan pendidikan.
Nampaknya apa yang dikemukakan oleh Abuddin sudah menjadi polemik dalam sejarah pendidikan khususnya di Indonesia. Pendidikan yang lebih menekakankan pada aspek-aspek rasionalitas akan mengkerdilkan makna dari nilai-nilai yang terdapat pada pendidikan itu sendiri. Pengajaran hanyalah sebatas tugas dan kemampuan saja yang tidak didukung dengan kesadaran moral yang tinggi dalam pelaksanaan tugas. Hubungan antara guru dan siswa hanya akan berlangsung dalam ruang lingkup sekolah. Dalam pengajaran kesadaran kerja hanya ditentukan oleh nilai kerja itu sendiri, disiplin kerja dan aturan kerja yang berlaku. Guru yang mengajar adalah guru yang taat asas. Karenanya muridnya juga akan mengedepankan pada aspek rasionalitas an sich tanpa didukung oleh aspek moralitas. Lebih lanjut Abuddin mengungkapkan bahwa akibat dari dari pola pengajaran teacher centris akan mudah sekali seorang guru terjebak ke dalam perbuatan pamer pengetahuan, ketika ia berdiri di depan kelasa. Ia sibuk sekali di dalam kelas tetapi tidak mendidik, tidak pula mengajar, tetapi asyik membeberkan pengetahuan yang dimilikinya dan asyik menikmati kekaguman yang diperlihatkan siswa-siswanya. Kemudian menurut Abuddin jika pamer pengetahuan ini merupakan suatu perbuatan yang disengaja, secara pedagogis yang dihadapi adalah suatu situasi yang tidak etis. Yang dijumpai dalam hal ini ialah guru yang menyalahgunakan kelemahan-kelemahan para siswa; kekurangan pengetahuan mereka, keterbatasan pengalaman hidup mereka dan ketidak berdayaan mereka dalam menghadapi gurunya. Ironisnya masih ada guru dan dosen di masyarakat kita yang menikmati katakutan atau kebingungan para siswa dan mahasiswanya. Ungkapan Abuddin yang menyatakan bahwa banyak guru dan dosen yang menikmati atau justru memanfaatkan ketakutan dan kebingungan mahasiswa menurut penulis didasarkan pada pengalamannya baik ketika menjadi mahasiswa maupun setelah menjadi salah seorang dosen yang banyak menemukan kekeliruan diantara para sahabatnya sesama dosen. Nampaknya Abuddin menyatakan ketidak setujuannya pada metode teacher centris yang menekankan bahwa guru atau dosen adalah segala-galanya dalam proses pembelajaran. Secara tidak langsung Nata telah menyindir beberapa guru besar lainnya yang memperlakukan siswa atau mahasiswanya dalam sebuah kondisi pembelajaran yang sangat otoritarian . Fenomena inilah yang dimaksud oleh Abuddin sebagai tugas mengajar bukan mendidik. Oleh Paulo Freire pendidikan semacam ini disebut sebagai penindasan, dan diibaratkan sebagai kegiatan menabung. “lebih buruk lagi murid diubahnya menjadi bejana-bejana, wadah-wadah kosong untuk diisi oleh guru. Semakin penuh ia mengisi wadah-wadah itu, semakin baik pula seorang guru. Semakin patuh wadah-wadah itu untuk diisi semakin baik pula mereka sebagai murid. Pendidikan karenanya menjadi kegiatan menabung, di mana para murid adalah celengannya dan guru adalah penabungnya. Yang terjadi bukanlah proses komunikasi tetapi guru menyampaikan pernyataan-pernyataan dan “mengisi tabungan” yang diterima, di hapal dan diulangi dengan patuh oleh para murid. Inilah konsep pendidikan gaya bank, di mana ruang gerak yang disediakan bagi kegiatan para murid hanya terbatas pada menerima, mencatat dan menyimpan”. Sebagai seorang mantan aktivis tulen yang kerap kali berbicara tentang demokrasi dalam pembelajaran, Abuddin Nata tidak setuju dengan adanya guru atau dosen yang “gila penghormatan” atau menjadikan situasi yang sangat tidak demokratis sebagai sebuah lambang keberhasilan, kebesaran nama dan tingginya pengetahuan dengan analogi semakin diam siswa atau mahasiswa, semakin banyak mereka mencatat, semakin takut mereka kepada guru atau dosennya maka dapat dikatakan semakin tinggilah wibawa dan pengetahuan guru atau dosen tersebut. Terlihat bahwa analogi dan fenomena semacam itu sangat ditentang oleh Abuddin. Untuk itulah Abuddin menyatakan bahwa guru atau dosen telah “membuat bingung siswa atau mahasiswanya, sesungguhnya mereka melakukan kesalahan pedagogis mengaburkan nilai pedagogis dan telah melakukan dosa pedagogis”. Sekali lagi menurut pendapat penulis, Abuddin telah berani membongkar akar-akar otoritarianisme, mengungkapkan dosa-dosa ilmiah yang ditimbulkan oleh adanya konsep teacher centris.
b. Student centris
Menurut Abuddin Nata seiring dengan kemajuan yang terjadi dalam bidang ilmu pengetahuan dan tehnologi, konsep pembelajaran pun mengalami perubahan, yaitu dari yang semula berpusat pada guru, menjadi lebih berpusat pada siswa (student centris). Dalam konsep ini yang dianggap penting adalah bukan upaya guru dalam menyampaikan bahan, melainkan bagaimana siswa dapat mempelajari bahan sesuai dengan tujuan. Untuk itu menurut Abuddin upaya yang harus dilakukan oleh guru adalah menciptakan serangkaian peristiwa yang dapat mempengaruhi siswa belajar. Dalam kaitan ini dapat dipahami bahwa guru adalah salah satu unsur penyedia fasilitas untuk terjadinya proses pembelajaran. Lebih lanjut konsep belajar ini menurut Abuddin mengisyaratkan pentingnya siswa sebagai salah satu faktor dominan dalam merencanakan kegiatan belajar-mengajar. Sebagai sebuah catatan metode ini akan dapat diperaktekkan terhadap siswa yang memiliki banyak sumber informasi dan fasilitas belajar yang memadai.
c. Teacher and Student centris
Pada metode pembelajaran teacher centris gurulah yang paling mendominasi berlangsungnya kegiatan pembelajaran, pada metode student centris justru sebaliknya, kegiatan belajar didominasi oleh siswa, sementara pada metode pembelajaran teacher dan student centris kegiatan belajar menurut Abuddin tidak terpusat pada salah satu dari keduanya, tetapi terjadi interaksi antara guru dan murid secara bersama-sama. Dalam kaitan ini belajar mengajar menurut Abuddin merupakan sebuah proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal-balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Pada situasi ini Abuddin berpendapat bahwa proses belajar mengajar mempunyai makna dan pengertian yang lebih luas daripada pengertian mengajar memberikan bekal pengetahuan semata-mata. Selain itu dalam proses interaksi belajar mengajar dan target yang ingin dicapai bukan hanya pengajaran, melainkan juga pendidikan sekaligus. Untuk itu seorang guru harus tahu nilai-nilai apa yang dapat disentuh oleh materi pelajaran yang akan diberikan kepada siswanya.
Meskipun diantara ketiga metode itu terlihat jelas nilai positif dan negatifnya, namun ternyata Abuddin Nata berpendapat bahwa diantara ketiga metode itu masih dapat diterapkan dalam masyarakat kita, hal ini dilatar belakangi oleh situasi dan kondisi lingkungan sosial ekonomis di mana kegiatan pengajaran itu dilakukan. Pikiran Abudin Nata menurut penulis di dasarkan pada pertimbangan tipikal masyarakat yang ada. Penentuan pilihan pada teacher centris menurut Abuddin Nata masih tepat jika dilakukan pada masyarakat agraris yang serba kurang informasi. Hal ini diduga bahwa gurulah yang lebih mudah mengakses dan mengetahui informasi-informasi baru. Sementara catatan Abuddin untuk pilihan student centris dapat dilakukan pada kondisi masyarakat yang modern yang ditandai oleh kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi informasi, dengan pola hidup yang cenderung liberal. Sementara pilihan ketiga cukup tepat dilakukan pada masyarakat yang masih dalam transisi antara dua kebudayaan tersebut, yaitu antara kebudayaan agraris dan kebudayaan modern sebagaimana yang terjadi di Indonesia, metode pembelajaran yang memadukan antara kehendak guru dan murid tampaknya merupakan alternatif pilihan yang paling pas.
C. Pemikiran Abuddin Nata tentang Kurikulum
Istilah “kurikulum” berasal dari dunia olahraga pada zaman Romawi Kuno di Yunani, yang mengandung pengertian suatu jarak yang harus ditempuh oleh pelari dari garis start sampai garis finis. Dalam pengertian yang sederhana kurikulum sering diartikan dengan sejumlah mata pelajaran atau bidang studi. Namun dalam perkembangan selanjutnya pengertian kurikulum tidak hanya terbatas pada pengertian sejumlah mata pelajaran atau bidang studi saja, melainkan termasuk pula kegiatan-kegiatan yang dilakukan siswa dalam rangka belajar.  Seyogyanya setiap kurikulum yang dibuat mestilah dapat menjangkau setiap kebutuhan-kebutuhan dalam komponen pendidikan. Kurikulum mestilah tanggap terhadap perubahan masa sekarang dan masa yang akan datang, visi yang dibuat adalah visi masa depan yang holistik dan antisipatif, menjangkau berbagai dimensi kehidupan dengan segala kemajuannya. Dengan demikian kurikulum tidak hanya kerangka pendidikan kekinian dan (meminjam istilah Yahya Jaya-) kedisinian, tetapi kurikulum adalah gambaran masa depan yang dipersiapkan sejak sekarang. Seperti diketahui bahwa ada kecendrungan kurikulum di Indonesia sering berubah-ubah. Banyak orang yang menduga bahwa setiap pergantian pejabat pemerintah khususnya dalam bidang pendidikan maka dengan sendirinya berubah pulalah kurikulum pendidikan. Ada beberapa kurikulum yang pemakaiannya hanya sebentar saja, belum dilihat hasilnya kurikulumnya telah dirubah diantaranya adalah kurikulum 1994, 1997, 1999, KBK tahun 2004 dan KTSP tahun 2006. Setiap pergantian pimpinan menimbulkan pergantian pada kurikulum. Diduga bahwa pergantian kurikulum ini adalah maslah politik yang dimainkan oleh para pejabat untuk menarik perhatian massa. Akibatnya kurikulum dijadikan sebagai kelinci percobaan yang tak kunjung selesai. Karena persoalan inilah Abuddin Nata berpendapat bahwa pembaruan pada bidang kurikulum adalah hal yang niscaya dan perlu dilakukan. Pembaruan dan penyusunan kurikulum yang dimaksud perlu melibatkan orang-orang yang berjiwa progresif, memiliki visi dan persepsi tentang pendidikan abad XXI, memiliki wawasan baik secara konseptual maupun praktis tentang berbagai hal yang berkaitan dengan penyusunan kurikulum. Hanya saja konsep dan strategi lebih mendalam tentang penyusunan kurikulum ini tidak ditemukan dalam karya-karya ilmiah yang ditulis oleh Abuddin Nata. Dapat dipahami bahwa Abuddin Nata memandang, sering terjadinya pertukaran kurikulum lebih banyak diakibatkan –selain aspek politis—oleh tidak diikutsertakannya orang-orang yang berjiwa progresif, memiliki visi dan persepsi tentang tuntutan zaman.
D. Pemikiran Abuddin Nata tentang Paradigma Madrasah Unggulan
Pada saat ini banyak muncul di Indonesia sekolah/madrasah unggulan. Dalam pengertian generiknya “unggulan” yang dimaksud adalah sebuah sekolah atau madrasah yang menyediakan fasilitas yang lengkap, pelayanan yang baik, suasanan yang menyenangkan, kurikulum yang khas, sistem pembelajaran yang bagus, dan kualitas proses bembelajaran dan hasil belajar yang baik. Munculnya konsep sekolah atau madrasah unggul tidak terlepas dari upaya memperbaiki citra pendidikan ke arah yang bermutu dan penyesuaian terhadap tuntutan zaman. Menurut Abuddin makna unggul pada sekolah unggul adalah perpaduan yang seimbang antara pendidikan umum dan pendidikan agama yang dijalankan secara profesional oleh orang dan sistem yang unggul. Munculnya sekolah unggul dilatarbelakangi oleh adanya plus minus dari sistem pendidikan umum dan pesantren. Dari hal-hal yang positif diantara dua lembaga pendidikan itu kemudian digabung secara integratif sehingga melahirkan pendidikan yang unggul dalam bidang keilmuan kognitif, sikap afektif, dan psikomotorik yang dilandasi dengan ajaran-ajaran agama. Menurut Abuddin paradigma madrasah unggul dapat dilihat dari dua hal yaitu:
a. Karakteristik Madrasah Unggulan
Selama ini menurut Abuddin keunggulan dalam bidang ilmu pengetahuan, keterampilan, dan teknologi dimiliki oleh sekolah-sekolah umum, sementara sekolah agama unggul dalam bidang pengetahuan keagamaan, keimanan, dan ketakwaan. Sintesis dari keunggulan yang dimiliki oleh kedua lembaga itu menurut Abuddin selanjutnya dapat mengambil bentuk Sekolah Pesantren atau Boarding School atau pada tingkat yang lebih tinggi disebut dengan Perguruan Tinggi Pesantren. Ada beberapa nilai positif dan negatif pesantren dan sekolah sebagaimana keterangan Abuddin sebagai berikut:
“Tradisi untuk mendalami agama dan mengamalkannya dengan sungguh-sungguh, ketaatan dalam menjalankan ibadah, akhlak yang mulia, kemandirian, kesabaran, kesederhanaan, adalah nilai-nilai pendidikan yang jelas masih dapat dijumpai di pesantren dan sulit dijumpai di sekolah pada umumnya. Sementara tradisi kritis, inovatif, kreatif, dinamis, progresif, terbuka, rasa percaya diri, dan lain-lain tampak lebih banyak dimiliki sekolah umum. Perpaduan dari masing-masing keunggulan pada masing-masing lembaga pendidikan itulah yang oleh sementara kalangan sebagai bentuk dari madrasah ungulan”. Salah satu kelemahan pesantren adalah dalam bidang manejemen. Proses pengambilan keputusan, kepemimpinan, dan sebagainya ditentukan oleh satu orang, yaitu kiai. Keadaan manejemen yang demikian dipandang tidak sesuai lagi dengan alam modern yang menuntut pelaksanaan demokratisasi, transparansi, akuntabilitas, dan kebersamaan. Manejemen pesantren yang bercorak kekeluargaan dan sepenuhnya di tangan kiai itu terkadang juga bisa membawa kemajuan apabila kiainya seorang yang memiliki kompetensi yang unggul, cerdas, pintar, mau bekerja keras, adil, dan demokratis. Namun, sebaliknya manejemen yang demikian itu bisa juga membawa kemunduran apabila kiainya memiliki bekal pengetahuan pas-pasan, malas, otoriter, dan diktator.  Lebih lanjut Abuddin menyatakan bahwa hal-hal yang positif dari kedua lembaga pendidikan tersebut mesti diterapkan dan dikembangkan. Sedangkan hal-hal negatifnya ditinggalkan. Sekolah unggulan juga juga dapat dilihat dari kualitas lulusannya yang tidak hanya menguasai materi-materi yang diajarkan , tetapi juga proses untuk mencapai dan menguasai materi tersebut. Hal lain adalah bahwa metode dan pendekatan pengajaran tidak hanya berorientasi pada subjek materi saja, tetapi juga pada proses. Melihat kondisi yang berkembang di mana pengajaran yang dilakukan di sekolah pada saat ini lebih banyak sifatnya menghafal materi pelajaran ketimbang kemampuan untuk memperoleh dan mengembangkan materi tersebut. Untuk itulah Abuddin mengatakan bahwa sudah saatnya kiblat pendidikan dirobah dari pendekatan hafalan menjadi pendekatan pemerolehan dan pengembangan materi.

b. Sekolah Unggul dalam Sejarah dan Falsafat Islam
Secara historis Abuddin Nata menyatakan bahwa diduga kuat keberhasilan dan kemajuan sekolah dan perguruan tinggi Islam pada zaman klasik Islam disebabkan oleh adanya sistem pendidikan yang unggul dan diserta prinsip-prinsip yang mendasarinya yang beroperasi di dalamnya. Dalam konteks ini Abuddin Nata yakin bahwa sistem pendidikan pada masa kejayaan Islam mestilah didukung oleh sistem yang unggul dan dilaksanakan oleh orang yang unggul, sebab kalau tidak, tidak mungkin Islam menjadi sebuah peradaban yang paling terdepan diwaktu itu. Keunggulan itulah menurutnya yang mesti diterapkan pada saat ini. Menurut Abuddin ada tiga macam keunggulan yang dimiliki oleh lembaga pendidikan pada zaman klasik Islam. Pertama perkembangan tradisi ilmiah. Menurut Abuddin perkembangan dan tradisi ilmiah ilmiah telah dimulai di zaman klasik Islam. Tradisi ilmiah ini untuk selanjutnya melahirkan sarjana-sarjan Islam yang tersohor di dunia. Kedua integrasi antara ilmu agama dan ilmu umum. Menurut Abuddin ilmuan muslim pada zaman klasik adalah ilmuan ensiklopedik, yaitu ilmuan yang tidk hanya menguasai ilmu agama secara mendalam tetapi juga mengetahui ilmu pengetahuan umum secara prima pula. Ketiga pengajaran dilakukan berpusat pada murid. Dalam sejarah Islam terlihat bahwa pengajaran yang berpusat pada murid itu sangat ditekankan. Ibn Sina misalnya mengatakan bahwa penyampaian materi pelajaran selain harus sesuai dengan materi yang diajarkan itu, juga harus disesuaikan dengan perkembangan psikologis anak. Keempat kerjasama dengan pemakai lulusan. Dalam sejarah Islam tercatat bahwa dunia Islam telah memiliki pengalaman yang luas dan panjang dalam menyelenggarakan kegiatan pendidikan. Pada mulanya semua pendidikan dalam Islam adalah tanggungjawab perseorangan, guru mengajar murid-murid tanpa campur tangan Negara. Namun kandungan pendidikan semakin bertambah sehingga tugas dalam pendidikan semakin bertambah pula. Akhirnya pendidikan tidak lagi menjadi tanggunggjawab sekolah saja, tetapi menjadi tanggung jawab warga sekolah secara bersama.
      E. Strategi Pendidikan Iman dan Takwa
Pendidikan sebagai sebuah usaha dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Sementara pada bab II pasal 3 dinyatakan: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermatabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Menurut isi Undang-undang pendidikan di atas, terlihat bahwa ada hubungan yang sangat erat antara pengertian pendidikan dengan point-point tujuan yang merupakan beberapa nilai-nilai yang mesti tercapai pada setiap kegiatan pendidikan, nilai-nilai pendidikan yang dimaksud adalah nilai, spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, kreatifitas, demokratis, dan akhlak mulia. Seluruh poit-point tersebut terhimpun dalam sebuah kata beriman dan bertaqwa.
Kata iman dan taqwa yang disebutkan dalam tujuan pendidikan secara umum di atas dapat kita tafsirkan bahwa tujuan tersebut sesuai dengan tujuan pendidikan Islam. Tujuan pendidikan Islam yang dimaksud sebagaimana dikatakan oleh M. Arifin, “Agar manusia dapat mengelola atau memanfaatkan potensi-potensi pribadi, sosial dan alam sekitar bagi kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat. atau seperti yang dikatakan oleh Zakiah Dradjat, “Tujuan Pendidikan Islam diharapkan menghasilkan manusia yang berguna bagi dirinya dan masyarakatnya senang dan gemar mengamalkan dan mengembangkan ajaran Islam yang berhubungan dengan Allah dan dengan manusia sesamanya”. Muhammad Al-Faruqi mengatakan “iman” dan “tauhid” adalah inti dari eksistensi ajaran Islam, yang merupakan pandangan umum dari realitas kebenaran dan waktu, sejarah dan nasib manusia sebagai pandangan umum ia tegakkan atas dasar prisip Idealitionality, teology, capaticy of man, malleability of nature dan responsibility and judgment. Sedangkan Ziaudin Sardar mengatakan bahwa taqwa bukan suatu konsep teori; dia memerlukan kenyataan dalam karya, gerak dan interaksi. Artinya bahwa taqwa itu tidak hanya berkitan dengan hubungan vertical dengan Tuhan saja tetapi sangat berkaitan dengan segala aspek horizontal dan sisi-sisi ibadah atau pekerjaan yang dilakukan.
Kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat menurut Abuddin akan memberi manfaat bagi kehidupan manusia, apabila dibarengi keimanan dan ketakwaan. Sebaliknya Abuddin mengatakan apabila kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut tidak disertai dengan dengan dasar keimanan dan ketakwaan maka akan dapat menimbulkan kehidupan yang menghawatirkan karena kemajuan dibidang ilmu pengetahuan dan tehnologi tersebut dapat disalahgunakan untuk tujuan-tujuan destruktif. Kehawatiran Abuddin Nata terhadap dampak kemajuan yang tidak dibarengi dengan dasar iman dan takwa dapat dipahami dari perhatian Abduddin terhadap gejala-gejala sosial yang sering terjadi. Banyak kasus-kasus yang terjadi –yang katanya demi pembangunan dan kemajuan--justru banyak merugikan masyarakat, merusak norma dan sistem nilai penyebabnya adalah karena persoalan mental, tidak kokohnya iman dan ketakwaan dalam diri mereka. Atas kehawatiran itulah Abuddin Nata mengatakan keimanan dan ketakwaan dewasa ini semakin dipentingkan karena --ditengah berbagai kemajuan yang dicapai sekarang ini-- adanya berbagai paham kehidupan sekuler yang melanda kehidupan manusia dan selanjutnya telah mempengaruhi pola pikir dan pola perilakunya, seperti pola dan gaya hidup hedonistik, materialitistik, individualistik, pragmatik, dan sebagainya. Hal yang sama dengan pendapat Abuddin ini, Mas’ud Abidin juga berkomentar:
“Selain berkembang ke arah yang positif, tidak jarang dampak negatif menyertai, tatkala kesiapan moral spritual tidak di seiringkan dengan laju perkembangan material. Laju pertumbuhan materiil yang tidak diimbangi kesadaran akhlaq mulia (moralitas spritual) akhirnya menyisakan “limbah budaya” yang berpengaruh pada penurunan kualitas manusia. Limbah budaya, tampak pada perilaku yang tidak normatif, seperti kehidupan materialistis tanpa mengindahkan batas-batas antara hala dan haram, antara boleh dan tidak. Memisahkan nilai-normatif dalam aktivitas hidup manusia, dengan mengabaikan dominasi moral agama yang sebelumnya telah dijadikan ukuran kualitas manusia, pasti akan mengundang bencana berupa krisi citra kemanusiaan”.
Fenomena ini juga dikhawatir oleh M. Arifin , yang menyatakan bahwa apabila kemajuan Iptek yang hanya mengandalkan keceradasan rasio, sampai pada batas-batas tertentu, dapat mengerosikan benteng-benteng nilai idealisme humanisme semakin menuju ke arah rasionalisme, pragmatisme, dan relativisme. Berbagai aibat muncul kepermukaan, antara lain ialah; nilai-nilai kehidupan umat manusia lebih banyak didasarkan pada nilai kegunaan, kelimpahan hidup materialistis, sekularistik, dan hedonistik serta agnostik yang menafikan aspek-aspek etik religius, moralitas dan humanistis.
Gejala-gejala kehidupan yang di dasarkan pada pola hidup tersebut menurut Abuddin selanjutnya dengan mudah telah melanda para remaja usia sekolah yang secara psikologis tampak dengan mudah dapat dipengaruhi. Pentingnya keimanan dan ketakwaan pada manusai paling tidak menurut Abuddin di dasari pada tiga hal; pertama, manusia tidak cukup hanya mengandalkan ilmu pengetahuan dan hal-hal yang bersifat material semata-mata, tetapi juga membutuhkan agama yang mengajarkan keimanan dan ketakwaan. Kedua Abuddin memandang bahwa keimanan dan ketakwaan dapat membawa ketenteraman batin dan kebahagiaan menciptakan kesehatan mental, menghindari perasaan gelisah dan cemas sebagai akibat dari dampak negatif perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi. Ketiga segala sesuatu, baik harta, pangkat, keturunan, maupun ilmu pengetahuan, tanpa diserta agama, telah terbukti gagal menghantarkan manusia pada kehidupan bahagian dan tenteram. Akhirnya untuk meningkatkan pemahaman dan pengamalan terhadap keimanan dan ketakwaan, ada tiga strategi yang diusulkan oleh Abuddin Nata yaitu:
        a. Dari Segi Pendidikan
Menurut Abuddin agar pendidikan Agama Islam dapat berperan menanamkan pendidikan iman dan takwa, maka seluruh pendidikan agama Islam tersebut harus dilihat secara utuh dan terpadu. Ini berarti Abuddin menginginkan penanaman pendidikan iman dan takwa tidak dilakukan secara setengah hati, pragmentasi, dan terpisah-pisah, tetapi penanamannya diwujudkan dalam bentuk yang holistik, kontekstual, aktual, dan integralistik. Meskipun ada pembagian cabang dan macam ilmu Islam namun mestilah itu dilihat sebagai kebutuhan yang bersifat teknis dan spesialis, tetapi pada hakikat dan subtansinya berbagai cabang ilmu agama Islam tersebut sebenarnya satu, yaitu berasal dari wahyu Allah dan digunakan untuk menambahkan keimanan dan ketakwaan kepadanya. Dengan pendekatan holistik diharapkan para siswa memiliki pemahaman keislaman yang utuh. Dengan pendekatan integralistik diharapkan antara pendidikan agama Islam dengan ilmu pengetahuan umum pada dasarnya adalah satu atau terikat dengan oleh keimanan dan tauhid. Dengan pendekatan kontekstual, diharapkan ajaran-ajaran agama berkaitan permasalahan yang dihadapi para siswa, kemudian dengan pendekatan aktual diharapkan pendidikan agama Islam terasal fungsional bagi kehidupan siswa. Sampai disini terlihat bahwa Abuddin memandang bahwa melalui pendidikan agama Islam merupakan salah satu strategi yang sangat tepat untuk menanamkan pendidikan keimanan dan ketakwaan bagi diri siswa secara awal dan mendasar, wujud aktual dari semangat pendidikan iman dan takwa tersebut secara implementatif dilakukan oleh siswa sebagai bagian dari kehidupannya.
b. Dari Segi Metodologi
Ketika memahami pendapat Abuddin tentang metodlogi yang digunakan dalam pendidikan keimanan dan ketakwaan penulis memaknai bahwa Abuddin menginginkan adanya pendekatan metodologi bahwa seluruh mata peajaran merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Metodologi pengajaran mestilah di disain dengan baik melalui pendekatan psikologis dan rasional agar pembelajaran menjadi sangat menarik. Nampaknya dari segi metodologis ini Abuddin sendiri belum menguraikan makna, latar belakang dan konsep metodologi apa yang dimaksudkannya. Karena penelitian ini sifatnya sangat temporal maka kajian ini pada masa datang mungkin akan lebih jelas dan terperinci diuraikan oleh Abuddin.
        c. Dari Segi Sarana dan Prasarana
Menurut Abuddin strategi pendidikan keimanan dan ketakwaan tidak hanya berlangsung secara konseptual, tetapi dalam penerapannya perlu didukung dengan sarana dan prasarana yang tepat. Misalnya tempat ibadah yang lengkap dengan peralatannya, bimbingan salah berjemaah, penciptaan lingkungan yang agamis, pembudayaan tradisi keislaman, perayaan hari-hari besar Islam, apresiasi nilia-nilai keimanan dan ketakwaan dalambentuknya yang aktual dan sebagainya. Dengan demikian pada saat para siswa berada dalam lingkungan tersebut mereka akan merasakan suasana yang khas islami. Dari pendapat tersebut Abuddin Nata menginginkan selain sarana dan prasarana, lingkungan juga perlu disesuaikan, dirancang,dan dikondisikan sehingga seluruh aktivitas dan simbolisme yang ada di dalamnya menjadi sebuah adat dan tradisi yang sesuai dengan fitrah Islam. Tentu saja dalam wilayah pendidikan, lingkungan sekolah mesti dirancang, disiasati dan diciptakan oleh seluruh warga sekolah sehingga sekolah menjadi sebuah lingkungan Islami yang terasa aman, nyaman, dan menyenangkan. Selain itu juga dapat dipahami bahwa pengkulturan terhadap aktivitas dan simbolisme beragama dapat memicu tumbuhnya peningkatan keimanan dan ketakwaa.


BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Pada pembahasan di atas penulis menyimpulkan bahwa konsep pendidikan yang di bangun dan dikembangkan oleh Abuddi nata adalah banyak dipengaruhi oleh pemikir-pemikir besar islam sebelumnya. Diketahui  bahwa abuddi nata banyak meneliti tentang pendapat para pemikir pendidikan islam. Kemudian dilihat dari karya-karyanya baik di bidang Studi Islam maupun Pendidikan Islam. Diantara karya-karya yang ditulis olehnya adalah: Sejarah Agama (1989), Ilmu Kalam (1989), AL-Quran dan Hadits (Dirasah Islamiyah 1) (1994), Filsafat Pendidikan Islam, (1995), Akhlak Tasawuf (1996), dan masih banyak karya-karya lainya yang penulis tidak cantumkan dalam tulisan ini.