MAKALAH
KONSEP PENDIDIKAN ISLAM MENURUT ABUDDINNATA
Oleh :
Ismail
MAHASISWA STAIN KENDARI
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam
kanca faktual kondisi pendidikan islam di Indonesia selalu mendapat rensponsif
dari para pemikir-pemikir Studi islam dan pendidikan islam, dalam kaitanya
menghadapi tatangan zaman. Pembaharuan melalui studi pada pendidikan Islam
terus dilakukan hingga melahirkan konsep-konsep baru pada dunia pendidikan
Islam. Itu dibuktikan dengan lahirnya karya-karya tulis ilmiah yang membahas
kajian-kajian pendidikan islam. Dalam catatan sejarah jika kita teropong lebih
dalam bagaimana dinamika pendidikan Islam dalam kiprahnya mengawal bangsa ini,
tentu menarik jika kita kaji pembaharuan-pembaharuan yang dilakukan oleh para
pemikir Islam seperti Ibn Maskawih, al-Qabisi, al-Mawardi, Ibn Sina,
al-Ghazali, Burhanuddin az-Zarnuji, Ibn Jama’ah, Ibn Taimiyah, Abdullah Ahmad,
K.H. Ahmad Sanusi, Ikhwanul Muslimin, Abuddi Nata dan pemikir-pemikir lainnya.
Dalam
tulisan singkat ini penulis akan membahas bagaimana konsep pendidikan yang
dibangun oleh Abuddi Nata selaku pemikir studi Islam dan Pendidikan Islam yang
sampai sekarang karya-karyanya masih dijadikan kiblat baik oleh para peneliti
maupun institusi-institusi yang ada di Tanah air
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Konsep
pendidikan menurut Abuddin nata
Pada
dasarnya pemikiran Abuddin Nata banyak dipengaruhi oleh beberapa pemikir-pemikir
besar Islam sebelumnya. Seperti diketahui bahwa Abuddin Nata banyak meneliti
tentang pendapat para pemikir pendidikan Islam, khususnya dalam buku yang
berjudul Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Pesrfektif Islam tentang Pola
Hubungan Guru-Muirid; Studi Pemikiran Tasawuf al-Ghazali yang kemudian dengan
sendirinya memberikan kesimpulan tersendiri dari beberapa pemikir yang banyak
menjadi referensinya itu. Sengaja atau tidak beberapa konsep pemikiran atau
pendapat-pendapat para ahli pendidikan Islam terlihat justru telah masuk dalam
pola dan konsep pikir Abuddin Nata. Hal ini dipahami dapat saja terjadi, namun
demikian sesekali nampak jelas pikiran-pikiran Abuddin Nata dengan
logika-logika baru, pemahaman baru dan konsep-konsep baru. Beberapa pikiran
tokoh tentang pendidikan Islam yang banyak dikaji oleh Abuddin diantaranya, Ibn
Maskawih, al-Qabisi, al-Mawardi, Ibn Sina, al-Ghazali, Burhanuddin az-Zarnuji,
Ibn Jama’ah, Ibn Taimiyah, Abdullah Ahmad, K.H. Ahmad Sanusi, Ikhwanul
Muslimin, dan pemikir-pemikir lainnya. Dengan demikian pikiran-pikiran Abuddin
bisa saja dimotori oleh para pemikir tersebut dengan membentuk formula baru
meskipun pada hakikatnya beberapa pendapat itu adalah sama. Formula-formula
yang dimaksud tentu akan memberikan kekhasan tersendiri dari pemikir-pemikir
lainnya.
B. Pemikiran Abuddin
Nata tentang Metode Pendidikan Islam
Pemikiran Abuddin Nata tentang Metode
Pendidikan Metodologi mengajar adalah ilmu yang mempelajari cara-cara untuk
melakukan aktivitas yang tersistem dari sebuah lingkungan yang terdiri dari
pendidik dan peserta didik untuk saling berinteraksi dalam melakukan suatu
kegiatan sehingga proses belajar berjalan dengan baik dalam arti tujuan
pengajaran tercapai. Istilah “metode” berasal dari dua kata yaitu meta dan
hodos. Meta artinya “melalui”, sedangkan hodos berarti “jalan atau cara”. Dalam
buku Pengantar Didaktik Metodik Kurikulum PBM, metode berasal dari kata metodos
(bahasa Yunani) yang berarti mengajar, menyelidiki, cara melakukan sesuatu,
prosedur. Dalam bahasa Arab, kata metode diungkapkan dalam berbagai kata.
Terkadang digunakan kata al-thariqah, manhaj, atau al-wasilah. Al-thariqah
berarti jalan, manhaj berarti sistem, sedangkan al-washilah berarti perantara
atau mediator. Jadi kata Arab yang lebih dekat dengan metode adalah thariqah
yang berarti langkah-langkah strategis yang dipersiapkan untuk melakukan suatu
pekerjaan. Jadi metode bisa dipahami sebagai jalan yang harus ditempuh atau
dilalui untuk mencapai tujuan tertentu. Jika dikaitkan dengan pendidikan, maka
metode adalah jalan atau cara yang ditempuh untuk mencapai tujuan pendidikan.
Metode adalah, “rencana menyeluruh yang berhubungan dengan penyajian pelajaran
secara teratur dan tidak saling bertentangan”. Dalam setiap kegiatan
pembelajaran sangat penting artinya metode bagi guru dalam menyampaikan materi
pelajaran. Secara defenitif Abuddin Nata dalam beberapa bukunya tidak
mengemukakan pengertian metode, namun makna metode dikemukakannya dalam
kerangka penerapan yang praktis. Hal ini dapat diduga bahwa Abuddin Nata lebih
memprioritaskan kajian-kajian sosio filosofis dan praktis daripada memberikan
pengertian-pengertian yang terkait dalam istilah pendidikan. Menurut Abudin
Nata, paling tidak ada tiga metode pembelajaran yang dapat digunakan oleh guru
dalam proses pembelajaran. Pertama metode yang berpusat pada guru (teacher
centris). Kedua metode pembelajaran yang berpusat pada siswa, (student
centris); dan ketiga, metode pembelajaran yang mencoba menggabungkan antara
yang berpusat pada guru (teacher centris ) dan siswa (student centris).
a. Teacher centris
Metode
pembelajaran yang berpusat pada guru menurut Abudin adalah sebuah metode yang
menjadikan guru sebagai pemberi informasi, pembina, pengarah, dan satu-satunya
dalam proses belajar mengajar. Metode ini di dasarkan dari pemikiran tentang
pentingnya pembelajaran yang bersifat memacu rasionalitas akademis yang lebih
menekankan pada aspek pengetahuan semata, tanpa melihat bahwa pengajaran juga
harus mengandung maksud pembinaan dan pengembangan dari beberbagai potensi atau
kemampuan yang dimiliki siswa. Artinya terlihat bahwa guru lebih banyak
berperan aktif dan lebih banyak mendominasi dalam mengatur, menentukan dan
mengelola pendidikan --sesuai dengan pemahaman, pandangan, pendapat-pendapatnya
saja--untuk menciptakan kemampuan berfikir secara rasional dengan menggunakan
logika. Penekanan rasional akademis dalam kondisi yang demikian
menurut Nata justru yang terjadi hanyalah pengajaran bukan pendidikan.
Nampaknya apa yang dikemukakan oleh Abuddin sudah menjadi polemik dalam sejarah
pendidikan khususnya di Indonesia. Pendidikan yang lebih menekakankan pada
aspek-aspek rasionalitas akan mengkerdilkan makna dari nilai-nilai yang
terdapat pada pendidikan itu sendiri. Pengajaran hanyalah sebatas tugas dan
kemampuan saja yang tidak didukung dengan kesadaran moral yang tinggi dalam
pelaksanaan tugas. Hubungan antara guru dan siswa hanya akan berlangsung dalam
ruang lingkup sekolah. Dalam pengajaran kesadaran kerja hanya ditentukan oleh
nilai kerja itu sendiri, disiplin kerja dan aturan kerja yang berlaku. Guru
yang mengajar adalah guru yang taat asas. Karenanya muridnya juga akan
mengedepankan pada aspek rasionalitas an sich tanpa didukung oleh aspek
moralitas. Lebih lanjut Abuddin mengungkapkan bahwa akibat dari dari pola
pengajaran teacher centris akan mudah sekali seorang guru terjebak ke dalam
perbuatan pamer pengetahuan, ketika ia berdiri di depan kelasa. Ia sibuk sekali
di dalam kelas tetapi tidak mendidik, tidak pula mengajar, tetapi asyik
membeberkan pengetahuan yang dimilikinya dan asyik menikmati kekaguman yang
diperlihatkan siswa-siswanya. Kemudian menurut Abuddin jika pamer pengetahuan
ini merupakan suatu perbuatan yang disengaja, secara pedagogis yang dihadapi
adalah suatu situasi yang tidak etis. Yang dijumpai dalam hal ini ialah guru
yang menyalahgunakan kelemahan-kelemahan para siswa; kekurangan pengetahuan
mereka, keterbatasan pengalaman hidup mereka dan ketidak berdayaan mereka dalam
menghadapi gurunya. Ironisnya masih ada guru dan dosen di masyarakat kita yang
menikmati katakutan atau kebingungan para siswa dan mahasiswanya. Ungkapan
Abuddin yang menyatakan bahwa banyak guru dan dosen yang menikmati atau justru
memanfaatkan ketakutan dan kebingungan mahasiswa menurut penulis didasarkan
pada pengalamannya baik ketika menjadi mahasiswa maupun setelah menjadi salah
seorang dosen yang banyak menemukan kekeliruan diantara para sahabatnya sesama
dosen. Nampaknya Abuddin menyatakan ketidak setujuannya pada metode teacher
centris yang menekankan bahwa guru atau dosen adalah segala-galanya dalam
proses pembelajaran. Secara tidak langsung Nata telah menyindir beberapa guru
besar lainnya yang memperlakukan siswa atau mahasiswanya dalam sebuah kondisi
pembelajaran yang sangat otoritarian . Fenomena inilah yang dimaksud oleh
Abuddin sebagai tugas mengajar bukan mendidik. Oleh Paulo Freire pendidikan
semacam ini disebut sebagai penindasan, dan diibaratkan sebagai kegiatan
menabung. “lebih buruk lagi murid diubahnya menjadi bejana-bejana, wadah-wadah
kosong untuk diisi oleh guru. Semakin penuh ia mengisi wadah-wadah itu, semakin
baik pula seorang guru. Semakin patuh wadah-wadah itu untuk diisi semakin baik
pula mereka sebagai murid. Pendidikan karenanya menjadi kegiatan menabung, di
mana para murid adalah celengannya dan guru adalah penabungnya. Yang terjadi
bukanlah proses komunikasi tetapi guru menyampaikan pernyataan-pernyataan dan
“mengisi tabungan” yang diterima, di hapal dan diulangi dengan patuh oleh para
murid. Inilah konsep pendidikan gaya bank, di mana ruang gerak yang disediakan
bagi kegiatan para murid hanya terbatas pada menerima, mencatat dan menyimpan”.
Sebagai seorang mantan aktivis tulen yang kerap kali berbicara tentang
demokrasi dalam pembelajaran, Abuddin Nata tidak setuju dengan adanya guru atau
dosen yang “gila penghormatan” atau menjadikan situasi yang sangat tidak
demokratis sebagai sebuah lambang keberhasilan, kebesaran nama dan tingginya
pengetahuan dengan analogi semakin diam siswa atau mahasiswa, semakin banyak
mereka mencatat, semakin takut mereka kepada guru atau dosennya maka dapat
dikatakan semakin tinggilah wibawa dan pengetahuan guru atau dosen tersebut.
Terlihat bahwa analogi dan fenomena semacam itu sangat ditentang oleh Abuddin.
Untuk itulah Abuddin menyatakan bahwa guru atau dosen telah “membuat bingung
siswa atau mahasiswanya, sesungguhnya mereka melakukan kesalahan pedagogis
mengaburkan nilai pedagogis dan telah melakukan dosa pedagogis”. Sekali lagi
menurut pendapat penulis, Abuddin telah berani membongkar akar-akar
otoritarianisme, mengungkapkan dosa-dosa ilmiah yang ditimbulkan oleh adanya
konsep teacher centris.
b. Student centris
Menurut
Abuddin Nata seiring dengan kemajuan yang terjadi dalam bidang ilmu pengetahuan
dan tehnologi, konsep pembelajaran pun mengalami perubahan, yaitu dari yang
semula berpusat pada guru, menjadi lebih berpusat pada siswa (student centris).
Dalam konsep ini yang dianggap penting adalah bukan upaya guru dalam
menyampaikan bahan, melainkan bagaimana siswa dapat mempelajari bahan sesuai
dengan tujuan. Untuk itu menurut Abuddin upaya yang harus dilakukan oleh guru
adalah menciptakan serangkaian peristiwa yang dapat mempengaruhi siswa belajar.
Dalam kaitan ini dapat dipahami bahwa guru adalah salah satu unsur penyedia
fasilitas untuk terjadinya proses pembelajaran. Lebih lanjut konsep belajar ini
menurut Abuddin mengisyaratkan pentingnya siswa sebagai salah satu faktor
dominan dalam merencanakan kegiatan belajar-mengajar. Sebagai sebuah catatan
metode ini akan dapat diperaktekkan terhadap siswa yang memiliki banyak sumber
informasi dan fasilitas belajar yang memadai.
c. Teacher and Student
centris
Pada
metode pembelajaran teacher centris gurulah yang paling mendominasi
berlangsungnya kegiatan pembelajaran, pada metode student centris justru
sebaliknya, kegiatan belajar didominasi oleh siswa, sementara pada metode pembelajaran
teacher dan student centris kegiatan belajar menurut Abuddin tidak terpusat
pada salah satu dari keduanya, tetapi terjadi interaksi antara guru dan murid
secara bersama-sama. Dalam kaitan ini belajar mengajar menurut Abuddin
merupakan sebuah proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa
atas dasar hubungan timbal-balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk
mencapai tujuan tertentu. Pada situasi ini Abuddin berpendapat bahwa proses
belajar mengajar mempunyai makna dan pengertian yang lebih luas daripada
pengertian mengajar memberikan bekal pengetahuan semata-mata. Selain itu dalam
proses interaksi belajar mengajar dan target yang ingin dicapai bukan hanya
pengajaran, melainkan juga pendidikan sekaligus. Untuk itu seorang guru harus
tahu nilai-nilai apa yang dapat disentuh oleh materi pelajaran yang akan
diberikan kepada siswanya.
Meskipun diantara ketiga metode itu terlihat jelas nilai positif dan
negatifnya, namun ternyata Abuddin Nata berpendapat bahwa diantara ketiga metode
itu masih dapat diterapkan dalam masyarakat kita, hal ini dilatar belakangi
oleh situasi dan kondisi lingkungan sosial ekonomis di mana kegiatan pengajaran
itu dilakukan. Pikiran Abudin Nata menurut penulis di dasarkan pada
pertimbangan tipikal masyarakat yang ada. Penentuan pilihan pada teacher
centris menurut Abuddin Nata masih tepat jika dilakukan pada masyarakat agraris
yang serba kurang informasi. Hal ini diduga bahwa gurulah yang lebih mudah
mengakses dan mengetahui informasi-informasi baru. Sementara catatan Abuddin
untuk pilihan student centris dapat dilakukan pada kondisi masyarakat yang
modern yang ditandai oleh kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi
informasi, dengan pola hidup yang cenderung liberal. Sementara pilihan ketiga
cukup tepat dilakukan pada masyarakat yang masih dalam transisi antara dua
kebudayaan tersebut, yaitu antara kebudayaan agraris dan kebudayaan modern
sebagaimana yang terjadi di Indonesia, metode pembelajaran yang memadukan
antara kehendak guru dan murid tampaknya merupakan alternatif pilihan yang
paling pas.
C. Pemikiran Abuddin
Nata tentang Kurikulum
Istilah
“kurikulum” berasal dari dunia olahraga pada zaman Romawi Kuno di Yunani, yang
mengandung pengertian suatu jarak yang harus ditempuh oleh pelari dari garis
start sampai garis finis. Dalam pengertian yang sederhana kurikulum sering
diartikan dengan sejumlah mata pelajaran atau bidang studi. Namun dalam
perkembangan selanjutnya pengertian kurikulum tidak hanya terbatas pada
pengertian sejumlah mata pelajaran atau bidang studi saja, melainkan termasuk
pula kegiatan-kegiatan yang dilakukan siswa dalam rangka belajar. Seyogyanya setiap kurikulum yang dibuat
mestilah dapat menjangkau setiap kebutuhan-kebutuhan dalam komponen pendidikan.
Kurikulum mestilah tanggap terhadap perubahan masa sekarang dan masa yang akan
datang, visi yang dibuat adalah visi masa depan yang holistik dan antisipatif,
menjangkau berbagai dimensi kehidupan dengan segala kemajuannya. Dengan
demikian kurikulum tidak hanya kerangka pendidikan kekinian dan (meminjam
istilah Yahya Jaya-) kedisinian, tetapi kurikulum adalah gambaran masa depan yang
dipersiapkan sejak sekarang. Seperti diketahui bahwa ada kecendrungan kurikulum
di Indonesia sering berubah-ubah. Banyak orang yang menduga bahwa setiap pergantian
pejabat pemerintah khususnya dalam bidang pendidikan maka dengan sendirinya
berubah pulalah kurikulum pendidikan. Ada beberapa kurikulum yang pemakaiannya
hanya sebentar saja, belum dilihat hasilnya kurikulumnya telah dirubah
diantaranya adalah kurikulum 1994, 1997, 1999, KBK tahun 2004 dan KTSP tahun
2006. Setiap pergantian pimpinan menimbulkan pergantian pada kurikulum. Diduga
bahwa pergantian kurikulum ini adalah maslah politik yang dimainkan oleh para
pejabat untuk menarik perhatian massa. Akibatnya kurikulum dijadikan sebagai
kelinci percobaan yang tak kunjung selesai. Karena persoalan inilah Abuddin
Nata berpendapat bahwa pembaruan pada bidang kurikulum adalah hal yang niscaya
dan perlu dilakukan. Pembaruan dan penyusunan kurikulum yang dimaksud perlu
melibatkan orang-orang yang berjiwa progresif, memiliki visi dan persepsi
tentang pendidikan abad XXI, memiliki wawasan baik secara konseptual maupun
praktis tentang berbagai hal yang berkaitan dengan penyusunan kurikulum. Hanya
saja konsep dan strategi lebih mendalam tentang penyusunan kurikulum ini tidak
ditemukan dalam karya-karya ilmiah yang ditulis oleh Abuddin Nata. Dapat
dipahami bahwa Abuddin Nata memandang, sering terjadinya pertukaran kurikulum
lebih banyak diakibatkan –selain aspek politis—oleh tidak diikutsertakannya
orang-orang yang berjiwa progresif, memiliki visi dan persepsi tentang tuntutan
zaman.
D. Pemikiran Abuddin
Nata tentang Paradigma Madrasah Unggulan
Pada
saat ini banyak muncul di Indonesia sekolah/madrasah unggulan. Dalam pengertian
generiknya “unggulan” yang dimaksud adalah sebuah sekolah atau madrasah yang
menyediakan fasilitas yang lengkap, pelayanan yang baik, suasanan yang
menyenangkan, kurikulum yang khas, sistem pembelajaran yang bagus, dan kualitas
proses bembelajaran dan hasil belajar yang baik. Munculnya konsep sekolah atau
madrasah unggul tidak terlepas dari upaya memperbaiki citra pendidikan ke arah
yang bermutu dan penyesuaian terhadap tuntutan zaman. Menurut Abuddin makna
unggul pada sekolah unggul adalah perpaduan yang seimbang antara pendidikan
umum dan pendidikan agama yang dijalankan secara profesional oleh orang dan
sistem yang unggul. Munculnya sekolah unggul dilatarbelakangi oleh adanya plus
minus dari sistem pendidikan umum dan pesantren. Dari hal-hal yang positif
diantara dua lembaga pendidikan itu kemudian digabung secara integratif
sehingga melahirkan pendidikan yang unggul dalam bidang keilmuan kognitif,
sikap afektif, dan psikomotorik yang dilandasi dengan ajaran-ajaran agama.
Menurut Abuddin paradigma madrasah unggul dapat dilihat dari dua hal yaitu:
a. Karakteristik
Madrasah Unggulan
Selama
ini menurut Abuddin keunggulan dalam bidang ilmu pengetahuan, keterampilan, dan
teknologi dimiliki oleh sekolah-sekolah umum, sementara sekolah agama unggul dalam
bidang pengetahuan keagamaan, keimanan, dan ketakwaan. Sintesis dari keunggulan
yang dimiliki oleh kedua lembaga itu menurut Abuddin selanjutnya dapat
mengambil bentuk Sekolah Pesantren atau Boarding School atau pada tingkat yang
lebih tinggi disebut dengan Perguruan Tinggi Pesantren. Ada beberapa nilai
positif dan negatif pesantren dan sekolah sebagaimana keterangan Abuddin
sebagai berikut:
“Tradisi
untuk mendalami agama dan mengamalkannya dengan sungguh-sungguh, ketaatan dalam
menjalankan ibadah, akhlak yang mulia, kemandirian, kesabaran, kesederhanaan,
adalah nilai-nilai pendidikan yang jelas masih dapat dijumpai di pesantren dan
sulit dijumpai di sekolah pada umumnya. Sementara tradisi kritis, inovatif,
kreatif, dinamis, progresif, terbuka, rasa percaya diri, dan lain-lain tampak
lebih banyak dimiliki sekolah umum. Perpaduan dari masing-masing keunggulan
pada masing-masing lembaga pendidikan itulah yang oleh sementara kalangan
sebagai bentuk dari madrasah ungulan”. Salah satu kelemahan pesantren adalah
dalam bidang manejemen. Proses pengambilan keputusan, kepemimpinan, dan
sebagainya ditentukan oleh satu orang, yaitu kiai. Keadaan manejemen yang
demikian dipandang tidak sesuai lagi dengan alam modern yang menuntut
pelaksanaan demokratisasi, transparansi, akuntabilitas, dan kebersamaan.
Manejemen pesantren yang bercorak kekeluargaan dan sepenuhnya di tangan kiai
itu terkadang juga bisa membawa kemajuan apabila kiainya seorang yang memiliki
kompetensi yang unggul, cerdas, pintar, mau bekerja keras, adil, dan
demokratis. Namun, sebaliknya manejemen yang demikian itu bisa juga membawa
kemunduran apabila kiainya memiliki bekal pengetahuan pas-pasan, malas,
otoriter, dan diktator. Lebih lanjut
Abuddin menyatakan bahwa hal-hal yang positif dari kedua lembaga pendidikan
tersebut mesti diterapkan dan dikembangkan. Sedangkan hal-hal negatifnya
ditinggalkan. Sekolah unggulan juga juga dapat dilihat dari kualitas lulusannya
yang tidak hanya menguasai materi-materi yang diajarkan , tetapi juga proses
untuk mencapai dan menguasai materi tersebut. Hal lain adalah bahwa metode dan
pendekatan pengajaran tidak hanya berorientasi pada subjek materi saja, tetapi
juga pada proses. Melihat kondisi yang berkembang di mana pengajaran yang
dilakukan di sekolah pada saat ini lebih banyak sifatnya menghafal materi
pelajaran ketimbang kemampuan untuk memperoleh dan mengembangkan materi
tersebut. Untuk itulah Abuddin mengatakan bahwa sudah saatnya kiblat pendidikan
dirobah dari pendekatan hafalan menjadi pendekatan pemerolehan dan pengembangan
materi.
b. Sekolah Unggul dalam Sejarah dan
Falsafat Islam
Secara
historis Abuddin Nata menyatakan bahwa diduga kuat keberhasilan dan kemajuan
sekolah dan perguruan tinggi Islam pada zaman klasik Islam disebabkan oleh
adanya sistem pendidikan yang unggul dan diserta prinsip-prinsip yang
mendasarinya yang beroperasi di dalamnya. Dalam konteks ini Abuddin Nata yakin
bahwa sistem pendidikan pada masa kejayaan Islam mestilah didukung oleh sistem
yang unggul dan dilaksanakan oleh orang yang unggul, sebab kalau tidak, tidak
mungkin Islam menjadi sebuah peradaban yang paling terdepan diwaktu itu.
Keunggulan itulah menurutnya yang mesti diterapkan pada saat ini. Menurut
Abuddin ada tiga macam keunggulan yang dimiliki oleh lembaga pendidikan pada
zaman klasik Islam. Pertama perkembangan tradisi ilmiah. Menurut Abuddin
perkembangan dan tradisi ilmiah ilmiah telah dimulai di zaman klasik Islam.
Tradisi ilmiah ini untuk selanjutnya melahirkan sarjana-sarjan Islam yang
tersohor di dunia. Kedua integrasi antara ilmu agama dan ilmu umum. Menurut
Abuddin ilmuan muslim pada zaman klasik adalah ilmuan ensiklopedik, yaitu
ilmuan yang tidk hanya menguasai ilmu agama secara mendalam tetapi juga
mengetahui ilmu pengetahuan umum secara prima pula. Ketiga pengajaran dilakukan
berpusat pada murid. Dalam sejarah Islam terlihat bahwa pengajaran yang
berpusat pada murid itu sangat ditekankan. Ibn Sina misalnya mengatakan bahwa
penyampaian materi pelajaran selain harus sesuai dengan materi yang diajarkan
itu, juga harus disesuaikan dengan perkembangan psikologis anak. Keempat
kerjasama dengan pemakai lulusan. Dalam sejarah Islam tercatat bahwa dunia
Islam telah memiliki pengalaman yang luas dan panjang dalam menyelenggarakan
kegiatan pendidikan. Pada mulanya semua pendidikan dalam Islam adalah
tanggungjawab perseorangan, guru mengajar murid-murid tanpa campur tangan
Negara. Namun kandungan pendidikan semakin bertambah sehingga tugas dalam
pendidikan semakin bertambah pula. Akhirnya pendidikan tidak lagi menjadi
tanggunggjawab sekolah saja, tetapi menjadi tanggung jawab warga sekolah secara
bersama.
E. Strategi Pendidikan Iman dan Takwa
Pendidikan
sebagai sebuah usaha dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara. Sementara pada bab II pasal 3 dinyatakan: “Pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermatabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab”. Menurut isi Undang-undang pendidikan di atas, terlihat bahwa ada
hubungan yang sangat erat antara pengertian pendidikan dengan point-point
tujuan yang merupakan beberapa nilai-nilai yang mesti tercapai pada setiap
kegiatan pendidikan, nilai-nilai pendidikan yang dimaksud adalah nilai,
spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, kreatifitas,
demokratis, dan akhlak mulia. Seluruh poit-point tersebut terhimpun dalam
sebuah kata beriman dan bertaqwa.
Kata iman dan taqwa yang disebutkan dalam tujuan pendidikan secara umum di atas
dapat kita tafsirkan bahwa tujuan tersebut sesuai dengan tujuan pendidikan
Islam. Tujuan pendidikan Islam yang dimaksud sebagaimana dikatakan oleh M.
Arifin, “Agar manusia dapat mengelola atau memanfaatkan potensi-potensi
pribadi, sosial dan alam sekitar bagi kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat.
atau seperti yang dikatakan oleh Zakiah Dradjat, “Tujuan Pendidikan Islam
diharapkan menghasilkan manusia yang berguna bagi dirinya dan masyarakatnya
senang dan gemar mengamalkan dan mengembangkan ajaran Islam yang berhubungan
dengan Allah dan dengan manusia sesamanya”. Muhammad Al-Faruqi mengatakan
“iman” dan “tauhid” adalah inti dari eksistensi ajaran Islam, yang merupakan
pandangan umum dari realitas kebenaran dan waktu, sejarah dan nasib manusia
sebagai pandangan umum ia tegakkan atas dasar prisip Idealitionality, teology,
capaticy of man, malleability of nature dan responsibility and judgment.
Sedangkan Ziaudin Sardar mengatakan bahwa taqwa bukan suatu konsep teori; dia
memerlukan kenyataan dalam karya, gerak dan interaksi. Artinya bahwa taqwa itu
tidak hanya berkitan dengan hubungan vertical dengan Tuhan saja tetapi sangat
berkaitan dengan segala aspek horizontal dan sisi-sisi ibadah atau pekerjaan
yang dilakukan.
Kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat menurut
Abuddin akan memberi manfaat bagi kehidupan manusia, apabila dibarengi keimanan
dan ketakwaan. Sebaliknya Abuddin mengatakan apabila kemajuan dalam bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi tersebut tidak disertai dengan dengan dasar keimanan
dan ketakwaan maka akan dapat menimbulkan kehidupan yang menghawatirkan karena
kemajuan dibidang ilmu pengetahuan dan tehnologi tersebut dapat disalahgunakan
untuk tujuan-tujuan destruktif. Kehawatiran Abuddin Nata terhadap dampak
kemajuan yang tidak dibarengi dengan dasar iman dan takwa dapat dipahami dari
perhatian Abduddin terhadap gejala-gejala sosial yang sering terjadi. Banyak
kasus-kasus yang terjadi –yang katanya demi pembangunan dan kemajuan--justru
banyak merugikan masyarakat, merusak norma dan sistem nilai penyebabnya adalah
karena persoalan mental, tidak kokohnya iman dan ketakwaan dalam diri mereka. Atas
kehawatiran itulah Abuddin Nata mengatakan keimanan dan ketakwaan dewasa ini
semakin dipentingkan karena --ditengah berbagai kemajuan yang dicapai sekarang
ini-- adanya berbagai paham kehidupan sekuler yang melanda kehidupan manusia
dan selanjutnya telah mempengaruhi pola pikir dan pola perilakunya, seperti
pola dan gaya hidup hedonistik, materialitistik, individualistik, pragmatik,
dan sebagainya. Hal yang sama dengan pendapat Abuddin ini, Mas’ud Abidin juga
berkomentar:
“Selain berkembang ke arah yang positif, tidak jarang dampak negatif menyertai,
tatkala kesiapan moral spritual tidak di seiringkan dengan laju perkembangan
material. Laju pertumbuhan materiil yang tidak diimbangi kesadaran akhlaq mulia
(moralitas spritual) akhirnya menyisakan “limbah budaya” yang berpengaruh pada
penurunan kualitas manusia. Limbah budaya, tampak pada perilaku yang tidak
normatif, seperti kehidupan materialistis tanpa mengindahkan batas-batas antara
hala dan haram, antara boleh dan tidak. Memisahkan nilai-normatif dalam
aktivitas hidup manusia, dengan mengabaikan dominasi moral agama yang
sebelumnya telah dijadikan ukuran kualitas manusia, pasti akan mengundang
bencana berupa krisi citra kemanusiaan”.
Fenomena ini juga dikhawatir oleh M. Arifin , yang menyatakan bahwa apabila
kemajuan Iptek yang hanya mengandalkan keceradasan rasio, sampai pada
batas-batas tertentu, dapat mengerosikan benteng-benteng nilai idealisme
humanisme semakin menuju ke arah rasionalisme, pragmatisme, dan relativisme.
Berbagai aibat muncul kepermukaan, antara lain ialah; nilai-nilai kehidupan
umat manusia lebih banyak didasarkan pada nilai kegunaan, kelimpahan hidup
materialistis, sekularistik, dan hedonistik serta agnostik yang menafikan
aspek-aspek etik religius, moralitas dan humanistis.
Gejala-gejala
kehidupan yang di dasarkan pada pola hidup tersebut menurut Abuddin selanjutnya
dengan mudah telah melanda para remaja usia sekolah yang secara psikologis
tampak dengan mudah dapat dipengaruhi. Pentingnya keimanan dan ketakwaan pada
manusai paling tidak menurut Abuddin di dasari pada tiga hal; pertama, manusia
tidak cukup hanya mengandalkan ilmu pengetahuan dan hal-hal yang bersifat
material semata-mata, tetapi juga membutuhkan agama yang mengajarkan keimanan
dan ketakwaan. Kedua Abuddin memandang bahwa keimanan dan ketakwaan dapat
membawa ketenteraman batin dan kebahagiaan menciptakan kesehatan mental,
menghindari perasaan gelisah dan cemas sebagai akibat dari dampak negatif
perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi. Ketiga segala sesuatu, baik harta,
pangkat, keturunan, maupun ilmu pengetahuan, tanpa diserta agama, telah
terbukti gagal menghantarkan manusia pada kehidupan bahagian dan tenteram.
Akhirnya untuk meningkatkan pemahaman dan pengamalan terhadap keimanan dan
ketakwaan, ada tiga strategi yang diusulkan oleh Abuddin Nata yaitu:
a. Dari Segi Pendidikan
Menurut
Abuddin agar pendidikan Agama Islam dapat berperan menanamkan pendidikan iman
dan takwa, maka seluruh pendidikan agama Islam tersebut harus dilihat secara
utuh dan terpadu. Ini berarti Abuddin menginginkan penanaman pendidikan iman
dan takwa tidak dilakukan secara setengah hati, pragmentasi, dan
terpisah-pisah, tetapi penanamannya diwujudkan dalam bentuk yang holistik,
kontekstual, aktual, dan integralistik. Meskipun ada pembagian cabang dan macam
ilmu Islam namun mestilah itu dilihat sebagai kebutuhan yang bersifat teknis
dan spesialis, tetapi pada hakikat dan subtansinya berbagai cabang ilmu agama
Islam tersebut sebenarnya satu, yaitu berasal dari wahyu Allah dan digunakan
untuk menambahkan keimanan dan ketakwaan kepadanya. Dengan pendekatan holistik
diharapkan para siswa memiliki pemahaman keislaman yang utuh. Dengan pendekatan
integralistik diharapkan antara pendidikan agama Islam dengan ilmu pengetahuan
umum pada dasarnya adalah satu atau terikat dengan oleh keimanan dan tauhid.
Dengan pendekatan kontekstual, diharapkan ajaran-ajaran agama berkaitan
permasalahan yang dihadapi para siswa, kemudian dengan pendekatan aktual
diharapkan pendidikan agama Islam terasal fungsional bagi kehidupan siswa.
Sampai disini terlihat bahwa Abuddin memandang bahwa melalui pendidikan agama
Islam merupakan salah satu strategi yang sangat tepat untuk menanamkan
pendidikan keimanan dan ketakwaan bagi diri siswa secara awal dan mendasar,
wujud aktual dari semangat pendidikan iman dan takwa tersebut secara
implementatif dilakukan oleh siswa sebagai bagian dari kehidupannya.
b. Dari Segi Metodologi
Ketika
memahami pendapat Abuddin tentang metodlogi yang digunakan dalam pendidikan
keimanan dan ketakwaan penulis memaknai bahwa Abuddin menginginkan adanya
pendekatan metodologi bahwa seluruh mata peajaran merupakan satu kesatuan yang
tidak terpisahkan. Metodologi pengajaran mestilah di disain dengan baik melalui
pendekatan psikologis dan rasional agar pembelajaran menjadi sangat menarik.
Nampaknya dari segi metodologis ini Abuddin sendiri belum menguraikan makna,
latar belakang dan konsep metodologi apa yang dimaksudkannya. Karena penelitian
ini sifatnya sangat temporal maka kajian ini pada masa datang mungkin akan
lebih jelas dan terperinci diuraikan oleh Abuddin.
c. Dari Segi Sarana dan Prasarana
Menurut
Abuddin strategi pendidikan keimanan dan ketakwaan tidak hanya berlangsung
secara konseptual, tetapi dalam penerapannya perlu didukung dengan sarana dan
prasarana yang tepat. Misalnya tempat ibadah yang lengkap dengan peralatannya,
bimbingan salah berjemaah, penciptaan lingkungan yang agamis, pembudayaan
tradisi keislaman, perayaan hari-hari besar Islam, apresiasi nilia-nilai
keimanan dan ketakwaan dalambentuknya yang aktual dan sebagainya. Dengan
demikian pada saat para siswa berada dalam lingkungan tersebut mereka akan
merasakan suasana yang khas islami. Dari pendapat tersebut Abuddin Nata
menginginkan selain sarana dan prasarana, lingkungan juga perlu disesuaikan,
dirancang,dan dikondisikan sehingga seluruh aktivitas dan simbolisme yang ada
di dalamnya menjadi sebuah adat dan tradisi yang sesuai dengan fitrah Islam.
Tentu saja dalam wilayah pendidikan, lingkungan sekolah mesti dirancang,
disiasati dan diciptakan oleh seluruh warga sekolah sehingga sekolah menjadi
sebuah lingkungan Islami yang terasa aman, nyaman, dan menyenangkan. Selain itu
juga dapat dipahami bahwa pengkulturan terhadap aktivitas dan simbolisme
beragama dapat memicu tumbuhnya peningkatan keimanan dan ketakwaa.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pada
pembahasan di atas penulis menyimpulkan bahwa konsep pendidikan yang di bangun
dan dikembangkan oleh Abuddi nata adalah banyak dipengaruhi oleh
pemikir-pemikir besar islam sebelumnya. Diketahui bahwa abuddi nata banyak meneliti tentang
pendapat para pemikir pendidikan islam. Kemudian dilihat dari karya-karyanya
baik di bidang
Studi Islam maupun Pendidikan Islam. Diantara karya-karya yang ditulis olehnya
adalah: Sejarah Agama (1989), Ilmu Kalam (1989), AL-Quran dan Hadits (Dirasah
Islamiyah 1) (1994), Filsafat Pendidikan Islam, (1995), Akhlak Tasawuf (1996),
dan masih banyak karya-karya lainya yang penulis tidak cantumkan dalam tulisan
ini.